Selamat datang di TPII Balon

Sabtu, 28 Mei 2011

MANDIKAN AKU BUNDA,, PLIIIISS ...

Dikisahkan oleh sdri: Oki Tien di Album Profile Facebooknya


Yuli, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya.

"Why not the best," katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di
Universiteit Utrecht, Belanda, Yuli termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Yuli mendapat pendamping yang "selevel"; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Yuli diangkat sebagai staf diplomatik, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah alif dan huruf terakhir ya, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira,
apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.


Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Yuli semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya,
"Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal tinggal?"
Dengan sigap Yuli menjawab, "Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya.
Everything is OK!"

Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Yuli tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan  ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.

"Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti." Begitu selalu nenek Alif, ibunya Yuli, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Yuli bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Yuli dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif.

Lagi-lagi bocah kecil ini "memahami" orang tuanya. Buktinya, kata Yuli, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.

Bahkan, tutur Yuli, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Yuli menyapanya "malaikat kecilku". Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Yuli berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter.

"Alif ingin Bunda mandikan," ujarnya penuh harap.

Karuan saja Yuli, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski
wajahnya cemberut. Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan.

"Bunda, mandikan aku!" kian lama suara Alif makin penuh tekanan.

Toh, Yuli dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter.
"Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency."

Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.

Yuli.., ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya.uli terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku.

"Ini Bunda Lif, Banya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Yuli memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Ytangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri memunda mandikan Alif," ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Yuli menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan
Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putratung
di sisi pusara. Berkali-kali Yuli, sahabatku yang tegar itu, berkata,
"Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?"

Saya diam saja. Rasanya Yuli memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong.

"Ini konsekuensi sebuah pilihan," lanjut Yuli, tetap mencoba tegar dan kuat.

Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Yuli berlutut. "Aku ibunyaaa!" serunya histeris, lantas tergugu hebat.
Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Yuli menangis, lebih-lebih tangisan yang
meledak.

"Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif.
Sekali saja, Aliiif.."

Yuli merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup
di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif.
Senja pun makin tua...., berat rasaya tuk meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Alif..
Malam smakin sepi n sunyi...tiada lg celoteh n suara merdu Alif yg biasa mengisi ruang2 rumah..
Kini...hanya tinggal kenangan manis...,yg membekas di fikiran Yuli...


♥ ♥ ♥ ♥ ♥
Smoga qt smua dpt mengambil hikmahnya..
Agar bisa membagi waktu untuk memberi perhatian khusus dan
kasih sayang buat anak2 tercinta sesibuk apapun kita..karena sesal tiada guna..
Aamiin.YRA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar